Senin, 26 Desember 2011

strategi pembelajaran

STRATEGI EKSPOSITORI


A.    Pengertian Pembelajaran Ekspositori
Istilah ekspositori berasal dari konsep eksposisi yang berarti memberi penjelasan. Dalam konteks pembelajran, eksposisi merupakan strategi yang dilakukan guru untuk mengatakan atau menjelaskan fakta-fakta, gagasan-gagasan dan informasi-informasi penting lainnya kepada para pembelajar.
Menurut pendapat surya darma ( 2008:30 )sterategi pembelajaran ekspositori adalahstrategi pembelajaran yang menekankankepada proses penyampaian materisecara verbal dari seorang gurukepada kelompok siswa dengan maksud agar siswa dapat menguasai materi pelajaran secara optimal. Strategi pembelajaran ekspositori merupakan bentuk dari pendekatan pembelajran yang berorientasi kepada guru, dikatakan demikian sebab dalam strategi ini guru memegang peranan yang sangat penting atau dominan.
Dimyati dan Mudjiono (1999:172) mengatakan metode ekspositori adalah memindahkan pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai kepada siswa.
Jadi, strategi pembelajaran ekspositori adalah strategi pembelajran yang menekankan kepada proses penyampaian materi secara verbal dari seseorang guru kepada sekelompok siswa dengan maksud agar siswa dapat menguasai materi pembelajaran secara optimal.

B.     Karakteristik Pembelajaran Ekspositori
        Karakteristik strategi pembelajaran ekspositori yaitu:
a)      Dilakuakan dengan cara penyampaian materi pembelajaran secara verbal artinya bertutur secara lisan yang merupakan alat utama dalam melakukan strategi ini.
b)      Materi yang disampaikan adalah materi pembelajaran yang sudah jadi, seperti data atau fakta, konsep-konsep tertentu yang harus dihafal sehingga tidak menuntut siswa untuk berpikir ulang.
c)      Tujuan utama pembelajaran adalah penguasaan materi sendiri artinya setelah proses pembelajaran berakhir siswa diharapkan dapat memahami yang benar yaitu mengingat kembali materi yang telah diuraikan.

C.    Prinsip Pembelajaran Ekspositori
Prinsip-Prinsip Strategi Pembelajaran Ekspositori adalah sebagai berikut 
a)      Berorientasi pada tujuan
Walaupun penyampaian materi pelajaran merupakan cirri utama dalam strategi pembelajaran ekspositori melalui metode ceramah, namun tidak berarti proses penyampaian materi tanpa tujuan pembelajaran. Sebelum strategi diterapkan oleh guru maka guru harus merumuskan tujuan pembelajaran secara jelas dan terukur. Seperti criteria pada umumnya tujuan pembelajaran harus dirumuskan dalam bentuk tingkah laku yang dapat diukur atau berorientasi pada kompetensi yang harus dicapai siswa. Strategi pembelaran ekspositori tidak akan mungkin mengejar tujuan kemampuan berpikir tingkat tinggi misalnya kemampuan untuk menganalisis, mengintesis, mengevaluasi sesuatu namun tidak berarti tujuan kemampuan taraf rendah. Justru tujuan itulah yang harus dijadikan ukuran dalam menggunakan strategi ekspositori.
b)      Prinsip Komunikasi
Proses pembelajran dapat dikatakan sebagai proses komunikasi yang merujuk pada proses penyampaian pesan dari seseorang kepada seseorang atau sekelompok orang. Pesan yang disampaikan  adalah materi pembelajaran yang diorganisisr dan disusun sesuai dengan tujuan tertentu yang ingin dicapai. Dalam proses komunikasi guru berfungsi sebagai sumber pesan dan siswa sebagai penerima pesan. Dalam komunikasi selalu terjadi pemindahan pesan informasi dari sumber pesan ke penerima pesan. System komunikasi dikatakan efekrif jika pesan dapat ditangkap oleh penerima pesan secra utuh. Dan jika pesan tersebut tidak diterima dengan baik maka system komunikasi tersebut idak efektif. Kesulitan menangkap pesan disebabkan oleh gangguan yang menghambat kelancaran komunikasi sehingga siswa tidak dapat menerima pesan yang ingin disampaikan. Strategi ekspositori menekankan pada proses penyampaian, maka prinsip komunikasi sangat penting untuk diperhatikan.
c)      Prinsip Kesiapan
Kesiapan merupakan salah satu hukum belajar. Inti dari hukum belajara adalah setiap individu akan merespon dengan cepat dari setiap stimulus manakala dalam dirinya sudah memiliki kesiapan dan tidak mungkin merespon jika tidak memiliki kesiapan. Agar siswa dapat menerima pesan informasi sebagai stimulus yang kita berikan, kita harus memposisikan mereka dalam keadaan siap baik secara fisik maupun psikis untuk menerima pelajaran. Oleh karena itu sebelum menyampaikan informasi apakah dalam otak anak sudah tersedia file yang sesuai dengan jenis informasi yang akan kita sampaikan atau belum. Jika belum kita sediakan dahulu agar dapat menampung setiap informasi yang kita berikan
d)      Prinsip Berkelanjutan
Proses pembelajaran ekspositori harus  dapat mendorong siswa untuk mau mempelajari meteri pelajaran lebih lanjut. Pembelajaran bukan berlangsung pada saat itu saja tetapi juga untuk waktu selanjutnya. Ekspositori berhasil jika melalui proses penyampaian dapat membawa siswa pada situasi ketidakseimbangan sehingga mendorong untuk mencari dan menemukan semdiri melalui proses belajar mandiri.

D.    Langkah-langkah Pembelajaran Ekspositori
Langkah-Langkah  dalam Penerapan strategi pembelajaran Ekspositori adalah sebagai berikut:
a)      Persiapan (Preparation).
Dalam strattegi ekspositori langkah persipan sangat penting, keberhasilan pembelajaran sangat tergantung dari langkah persiapan. Tujuan yang ingin dicapai dalam melakukan persiapan yaitu:
Beberapa hal yang harus dilakukan dalam langkah persipan yaitu:
v  Berikan sugesti yang positif dan hindari sugesti yang negative
Memberikan sugesti yang positif akan dapat membangkitkan kekuatan pada siswa untuk menembus rintangan dalam belajar. Sebaliknya sugesti yang negative dapat mematikan semangat belajar.
v  Mulailah dengan mengemukakan tujuan yang harus dicapai
Mengemukakan tujuan sangat pentinga rtinya dalam setiap proses belajar mengajar. Dengan mengumukakan tujuan, siswa akan paham dengan apa yang harus mereka kuasai serta mau dibawa kemana mereka. Dengan demikian tujuan merupakan pengikat baik bagi guru maupun siswa
v  Bukakan file dalam otak siswa seperti halnya sebuah computer, data akan tersimpan jika sudah tersedia filenya. Begitu juga otak manusia, materi pelajaran akan ditangkap dan disimpan dalam memori jika sudah tersedia file yang sesuai. Sebelum kita menyampaikan materi pelajaran sebaiknya terlebih dahulu kita harus membuka file dalam otak siswa agar materi bisa cepat ditangkap.
b)      Penyajian (Presentation).
Langkah penyampaian materi pelajaran sesuai dengan persiapan yang dilakukan. Dalam penyajian, bagaimana agar materi yang kita sampaikan mudah ditangkap dan dipahami oleh siswa.
      Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penyajian yaitu:
v  Penggunaan bahasa
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam penggunaan bahasa:
·         bahasa yang dipakai harus dipahami dan komunikatif agar mudah dipahami.
·         dalam penggunaan bahasa harus memperhatikan tingkat perkembangan siswa.
v  Intonasi suara.
Intonasi suara adalah pengaturan suara agar sesuai dengan pesan yang disampaikan. Guru yang baik akan memahami kapan ia harus meninggikan dan melemahkan suara. Pengaturan suara akan membuat perhatian siswa terkontrol.
v  Menjaga kontak mata dengan siswa.
 Dalam proses penyajian materi pelajaran, kontak mata merupakan hal penting untuk membuat siswa tetap memperhatikan pelajaran. Melalui kontak mata , siswa bukan hanya merasa dihargai tetapi juga seakan-akan diajak terlibat dalam proses penyajian. Pandanglah siswa secar bergiliran, jangan biarkan pandangan tertuju pada hal-hal di luar materi.
v  Menggunakan joke-joke yang menyegarkan.
Adalah kemampuan guru untuk menjaga kelas agar tetap hidup dan segar melalui penggunaan kalimat atau bahasa yang lucu. Guru dapat memunculkan joke bila dirasakan siswa sudah kehilangan konsentrasi yang bisa dilihat dari cara mereka  duduk tidak tenang, cara mereka memandang atau gejala-gejala prilaku tertentu misalnya misalnya memainkan alat tulis atau mengetuk-ngetuk meja.
c)      Korelasi (Corelation).
Adalah langkah menghubungkan materi pelajaran dengan pengalaman siswa dengan hal-hal lain yang memungkinkan siswa dapat menangkap keterkaitan dengan struktur pengetahuan yang dimiliki. Langkah korelasi dilakukan untuk memberi makna terhadap materi pelajaran.
d)     Menyimpulkan (Generalitation).
Adalah tahapan untuk memahami inti dari materi pelajaran yang telah disajikan. Langkah menyimpulkan dalam strategi pembelajaran strategi ekspositori yaitu mengambil inti sari dari proses penyajian. Menyimpulkan berarti memberikian keyakinan kepada siswa tentang kebenaran suatu paparan sehingga siswa tidak ragu. Menyimpulkan bisa dilakuakan dengan cara:
v  mengulang kembali inti materi menjadi pokok persoalan
v  cara memberikan beberapa pertanyaan yang relevan dengan materi yang telah disajikan
v  cara maping melalui pemetaan keterkaitan antar materi pokok-pokok materi
e)      Mengaplikasikan (Aplication)
Langkah aplikasi adalah langkah unjuk kemampuan siswa setelah mereka menyimak penjelasan guru. Langkah ini sangat penting sebab melalui langkah ini guru akan dapat mengumpulkan informasi tentang penguasaan dan pemahaman materi pelajaran. Teknik yang digunakan adalah:
v dengan membuat tugas yang relevan dengan materi yang telah disajikan
v dengan meberikan tes yang sesuai dengan materi pelajaran yang telah disajikan.

E.     Keunggulan dan kelemahan Strategi Pembelajaran Ekspositori
Keunggulan dan Kelemahan Strategi pembelajaran Ekspositori adalah sebagai berikut:
v  Keunggulan
ü  Guru bisa mengontrol urutan dan keluasan materi pelajaran dengan demikian ia dapat mengetahui sampai sejauh mana siswa mneguasai bahan pelajaran yang disampikan.
ü  Merupakan strategi pembelajaran yang sangat efektif apabila materi pelajaran yang harus dikuasai siswa cukup luas, sementara itu waktu yang dimiliki belajar sangat terbatas.
ü  Siswa dapat mengobservasi atau melihat langsung
ü  Bisa digunakan untuk jumlah siswa dan ukuran kelas yang besar.

v  Kelemahan
ü  Hanya bisa digunakan untuk siswa yang memiliki kemampuan mendengar dan menyimak secara baik.
ü  Tidak bisa melayani perbedaan individu baik perbedaan kemampuan, pengetahuan, minat bakat serta perbedaan gaya belajar.
ü  Sulit mnegembangkan kemampuan siswa dalam hal kemampuan sosialisasi, hubungan interpersonal, serta kemampuan berpikir klinis.
ü  Keberhasilan strategi ini tergantung dengan guru
ü  Gaya komunikasi yang satu arah menyebabkan kesempatan untuk mengontrol pemahaman dan pengetahuan siswa akan materi pembelajaran terbatas

F.     Penerapan dalam layanan BK
Penerapan sterategi mengajar ekpositori dalam layanan BK bisa kita lihat ketika guru pembimbing dalam memberikan berbagai pelayanan bimbingan konseling dimana dalam memberikan pelayanan tentunya guru pembimbing menggunakan strategi. Salah satu strategi yang dapat digunakan dalam pemberian pelayanan adalah strategi mengajar ekspositori karena seperti kita ketahuai bahwa strategi ini adalah strategi pembelajran yang menekankan kepada proses penyampaian materi secara verbal dari seseorang guru kepada sekelompok siswa dengan maksud agar siswa dapat menguasai materi pembelajaran secara optimal.
Walaupun guru pembimbing memberikan pelayanan tidak mengajar namun prinsip yang di terapkan atau dalam aplikasinya tetap sama misalnya ketika guru pembimbing memberikan layanan informasi, penguasaan dan layanan lainnya tidak terlepas dari strategi mengajar ekspositori dimana guru pembimbing dalam menyampaikan topic secara verbal kepada siswa yang tujuannya agar siswa dapat menguasai atau memahami apa yang disampikan oleh guru pembimbing.

DAFTAR PUSTAKA

Surya darma .2008. Strategi  Pembelajaran dan Pemilihannya. Jakarta: Ditjen PMPTK
Wina Sanjaya. 2008. Strategi Pembelajaran, berorientasi Standar proses pendidikan. Jakarta: Kencana prenada Media Group
Ahmad Sabri. 2005. Strategi belajar Mengajar dan micro teaching. Jakarta: Quantum teaching





KONSELING LINTAS BUDAYA


Psikologi dan konseling lintas budaya
Disusun oleh :
Triyono
09060075
Dosen pembimbing: Yusnetty, S.Pd
Program studi bimbingan konseling
Sekolah tinggi keguruan dan ilmu pendidikan
(STKIP) PGRI padang Sumatra barat
2011
















1. Bagaimana hakikat budaya dalam konseling lintas budaya ?
Jawab :
Dalam mendefinisikan konseling lintas budaya, kita tidak akan dapat lepas dari istilah konseling dan budaya.
Budaya berarti hasil budi manusia, hasil perjuangan manusia terhadap dua pengaruh yang kuat, yakni alam dan jaman (kodrat dan masyarakat), dalam mana terbukti kejayaan hidup manusia untuk mengatasi berbagai bagal rintangan dan kesukaran didalam hidup penghidupannya, guna mencapai keselamatan dan kebahagiaan, yang pada lahirnya bersifat tertib dan damai. Budaya adalah gaya hidup unik suatu kelompok manusia tertentu. Suatu budaya tertentu akan mempengaruhi kehidupan masyarakat tertentu (walau bagaimanapun kecilnya).
Konseling merupakan suatu proses untuk membantu individu mengatasi hambatan-hambatan perkembangn dirinya,dan untuk mencapai perkembangan yang optimal kemampuan pribadi yang dimilikinya ,proses tersebuat dapat terjadi setiap waktu. (Division of Conseling Psychologi).
Konseling meliputi pemahaman dan hubungan individu untuk mengungkapkan kebutuhan-kebutuhan, motivasi, dan potensi-potensi yang yang unik dari individu dan membantu individu yang bersangkutan untuk mengapresiasikan ketiga hal tersebut. (Berdnard & Fullmer ,1969) Dalam pengertian konseling terdapat empat elemen pokok yaitu:
a. Adanya hubungan,
b. Adanya dua individu atau lebih,
c. Adanya proses,
d. Membantu individu dalam mengembangkan potensi yang dimiliki, memecahkan masalah dan membuat keputusan.
Konseling lintas budaya mempunyai pengertian yaitu suatu hubungan konseling dimana dua peserta atau lebih, berbeda dalam latar belakang budaya, nilai nilai dan gaya hidup. Maka konseling lintas budaya juga akan dapat terjadi jika antara konselor dan klien mempunyai perbedaan. Karena Kita mengetahuai bahwa antara konselor dan klien pasti mempunyai perbedaan budaya yang sangat mendasar. Perbedaan budaya itu bisa mengenai nilai-nilai, keyakinan, perilaku dan lain sebagainya. Perbedaan ini muncul karena antara konselor dan klien berasal dari budaya yang berbeda.
Maka konseling lintas budaya akan dapat terjadi jika antara konselor dan klien mempunyai perbedaan budaya. Dalam konseling lintas budaya pasti klien dan konselor mempunyai perbedaan budaya yang sangat mendasar Perbedaan budaya itu bisa mengenai nilai nilai, keyakinan, perilaku dan lain sebagainya. Perbedaan ini muncul karena antara konselor dan klien berasal dari budaya yang berbeda dan dalam praktik sehari-hari,pasti konselor akan berhadapan dengan klien yang berbeda latar belakang sosial budayanya. Secara otomatis pasti dalam penanganan konseling juga tidak akan mungkin disamakan (Prayitno, 1994).
Jadi menurut teori atau konsep diatas dapat kita simpulkan bahwasanya hakikat budaya dalam konseling lintas budaya adalah suatu kajian atau yang menjadikan sebuah konseling lintas budaya dapat terjadi seperti kita ketahuai bahwa proses konseling lintas budaya terjadinya antara klien dan konselor yang berbeda budaya seperti kita ketahuai bahwa setiap individu itu unik dimana mereka mempunyai karakteristik yang berbeda-beda dari keunikanya tersebut maka otomatis kebudayaan klien tidak akan sama dengan kebudayaan kita sehingga dalam penanganan atau proses konseling perlu di terapkan atau menggunakan konseling lintas budaya serta memahami budaya yang di anut atau yang menjadi kebudayaan klien sehingga dalam proses konseling bisa optimal baik dalam penanganan atau hasil dari konseling lintas budaya itu sendiri.
2. Bagaimana anda menggunakan pendekatan etik dan emik dalam konseling lintas budaya?
Jawab :
Etik mengcakup pada temuan-temuan yang tampak konsisten atau tetap di berbagai budaya, dengan kata lain sebuah etik mengacu pada kebenaran atau prinsip yang universal. etik merupakan penggunaan sudut pandang orang luar yang berjarak (dalam hal ini siapa yang mengamati) untuk menjelaskan suatu fenomena dalam masyarakat.
Dalam konseling lintas budaya menggunakan perspektif objektif ini seorang konselor akan menggunakan dua pendekatan kebudayaan yang berbeda terhadap klien. Penggunaan perbedaan kebudayaan dilakukan untuk menunjukkan dimensi dan variabilitas kebudayaan dan untuk menunjukkan bahwa teori-teori komunikasi antar budaya tidak dimaksudkan untuk meneliti perbedaan budaya. Emik Etik Peneliti mempelajari perilaku manusia dari luar kebudayaan objek konseling, konselor menguji banyak kebudayaan dan membandingkan kebudayaan tersebut, Struktur kebudayaan ditemukan sendiri oleh konselor, Struktur diciptakan oleh konselor, Umumnya kriteria-kriteria yang diterapkan ke dalam karakteristik kebudayaan sangat realtif, Kriteria-kriteria kebudayaan bersifat mutlak dan berlaku universal.
Sedangkan emik sebaliknya, mengacu pada temuan-temuan yang tampak berbeda untuk budaya yang berbeda, dengan demikian, sebuah emik mengacu pada kebenaran yang bersifat khas-budaya misalnya, mencoba menjelaskan suatu fenomena dalam masyarakat dengan sudut pandang masyarakat itu sendiri. Pada prinsipnya dalam konseling yang menggunakan perspektif emik maka konselor “menjadikan dirinya” sebagai bagian dari kebudayaan klien, atau dengan kata lain, konselor bertindak sebagai individu penuh karena dia masuk dalam suatu struktur budaya tertentu. proses konseling Pendekatan emikpun sering menyebabkan atau menjadikan konselor menarik kesimpulan tentang suatu budaya tertentu berdasarkan ukuran-ukuran yang berlaku pada kebudayaan klien.
Karena implikasinya pada apa yang kita ketahui sebagai kebenaran, emik dan etik merupakan konsep-kosep yang kuat. Kalau kita tahu sesuatu tentang prilaku manusia dan menganggapnya sebagai kebenaran, dan hal itu adalah suatu etik (alias universal), maka kebenaran sebagaimana kita ketahui itu adalah juga kebenaran bagi semua orang dari budaya apa pun.
Pendekatan emik dalam hal ini memang menawarkan sesuatu yang lebih obyektif. Karena tingkah laku kebudayaan memang sebaiknya dikaji dan dikategorikan menurut pandangan orang yang dikaji itu sendiri, berupa definisi yang diberikan oleh masyarakat yang mengalami peristiwa itu sendiri. Bahwa pengkonsepan seperti itu perlu dilakukan dan ditemukan dengan cara menganalisis proses kognitif masyarakat yang dikaji dan bukan dipaksakan secara etnosentrik, menurut pandangan peneliti.
Jika yang kita ketahui tentang prilaku manusia dan yang kita anggap sebagai kebenaran itu ternyata adalah suatu emik (alias bersifat khas-budaya), maka apa yang kita anggap kebenaran tersebut belum tentu merupakan kebenaran bagi orang dari budaya lain.
Secara sangat sederhana dapat saya simpulkan bahwa emik mengacu pada pandangan konselor terhadap kebudayaan klien, sedangkan etik mengacu pada pandangan konselor terhadap kebudayaan secara keseluruhan dalam proses konseling.
Jadi dengan konsep atau landasan teori maka dalam melakukan proses hubungan konseling dengan klien, maka pendekatan yang akan saya lakukan adalah memahami klien seutuhnya. Memahami klien seutuhnya ini berarti yang harus saya lakukan adalah bisa atau dapat memahami budaya klien secara spesifik yang mempengaruhi klien, memahami keunikan klien dan memahami manusia secara umum atau universal yang sifatnya keseluruhan(Etik). Namun dalam memahami budaya spesifik berarti harus mengerti dan memahami budaya yang dibawa oleh klien sebagai hasil dari sosialisasi dan adaptasi klien dari lingkungannya. Hal ini sangat penting karena setiap klien akan membawa budayanya sendiri sendiri (Etik).
3. Bagaimana konsep diri idependen dan interdependen mempengaruhi kognisi, emosi,dan motivasi ?
Jawab :
Tiap individu membawa dan menggunakan atribut-atribut internal ini dalam mengatur pikiran dan tindakan dalam berbagai situasi sosial yang berbeda. Penjelasan tentang diri dapat di bagi menjadi dua yaitu konsep diri independen dan interdependen yang akan atau dapat mempengaruhi kognisi, emosi dan motivasi
a) Konsep Diri Independen
Orang memiliki berbagai gagasan, premis, atau konsep yang berbeda tentang diri, orang lain, dan hubungan antara diri dan orang lain (Markus & Kitayama, 1991a). Tugas normatif budaya-budaya ini adalah untuk mempertahankan independensi atau kemandirian individu sebagai entitas yang terpisah dan self-contained (terbatas pada diri).
Di masyarakat amerika, banyak orang dibesarkan untuk “menjadi unik”, “mengekspresikan diri”, dan “mewujudkan dan mengaktualisasikan diri yang sesungguhnya”. Banyak dari tugas kultural yang ada dalam budaya Amerika tersebut, saat ini dirancang dan diseleksi, melalui sejarah, untuk mendorong terbentuknya independensi atau ketidak tergantungan masing-masing diri yang terpisah.
Dengan tugas kultural yang seperti itu maka akan memepengaruhi cara pandang diri. Dibawah konsep independen tentang diri ini, individu cenderung memusatkan perhatian pada sifat-sifat internal seperti kemampuan diri, kecerdasan, ciri-ciri kepribadian, tujuan-tujuan, kesukaan, atau sifat-sifat diri, mengekspresikannya di ruang publik dan menandaskan dan mengkonfirmasi sifat-sifat ini secara privat melalui perbandingan sosial.
Diri adalah entitas yang berbatas tegas terpisah jelas dari orang-orang lain yang relevan. Informasi-informasi yang penting yang relevan dengan diri terdiri dari sifat-sifat yang yang dipandang stabil, konstan, dan intrinsik pada diri, seperti kemampuan, tujuan-tujuan, hak-hak, dan sebagainya. Karena itu, sifat-sifat tersebut pasti cukup umum dan abstrak.
b) Konsep Diri Interdependen
Budaya menekankan pada apa yang bisa disebut kesalingterkaitan yang mendasar pada manusia. Tugas normatif utama dalam budaya non-Barat adalah melakukan penyesuaian diri untuk menjadi tepat dan mempertahankan interdependensi diantara individu. Dengan demikian, banyak individu dalam budaya yang dibesarkan untuk menyesuaikan diri dengan orang dalam suatu hubungan atau kelompok, membaca maksud orang lain, menjadi orang yang simpatik, menempati dan menjalani peran yang diberikan pada diri kita, bertindak secara pantas, dan sebagainya. Hal ini adalah tugas budaya yang dirancang dan terseleksi lewat sejarah suatu kelompok budaya untuk mendorong terjadinya interdependensi antara diri dengan orang lain.
Dengan pemahaman tentang diri seperti ini, pengertian orang tentang nilai, kepuasan, atau harga diri mungkin memiliki karakter yang sangat berbeda dengan yang ada di budaya Barat. Harga diri orang dengan pemahan diri yang interdependen akan tergantung terutama pada apakah orang tersebut bisa cocok dan menjadi bagian dari suatu hubungan relevan yang langgeng. Dibawah pemahanan diri seperti ini, individu cenderung terfokus pada status interdependen mereka dengan orang lain dan berusaha memenuhi atau bahkan menciptakan tugas-tugas, kewajiban-kewajiban, dan tanggungjawab sosial. Dengan demikian, aspek paling adalah dalam hubungan-hubungan interpersonal yang tertata rapi dengan orang lain.
Seperti kita ketahuai dalam setiap budaya ada variasi diantara anggotanya dalam hal pemahaman diri yang independen versus yang interdevenden. Orang-orang dari etnis berbeda dalam satu budaya, misalnya, bisa memiliki kecenderungan yang berbeda dalam hal pemahaman diri independen versus interdependen. Pria dan wanita puna pemahaman diri yang berbeda. Bahkan dalam satu kelompok etnis dan gender pun aka nada perbedaan pemahaman diri (Gilligan, 1982; Joseph, Markus, & Tafarodin, 1992). Perbedaan-perbedaan ini juga penting dalam mempelajari perbedaan cultural. Uraian dalam bab ini adalah tentang kecenderungan umum yang terkait dengan pemahaman diri dependen atau interdependen, dengan tetap mengakui adanya keterbatasan representasi dalam kelompok.
Ø Pengaruh konsep diri independen dan interdependen Terhadap:
a. Kognisi
Menurut Matsumoto bahwa pemahaman diri yang berbeda punya konsekuensi terhadap bagaimana kita mempersepsi diri kita. Dengan pengalaman diri yang independen, atribut-atribut internal menjadi informasi paling penting dan paling relevan dengan diri. Atribut-atribut internal ini relatif kurang penting bagi mereka yang memiliki pemahaman diri yang interdependen, yang memikirkan diri lebih dalam konteks tertentu. Sesuai dengan pandangan kita tentang diri yang independen dan interdependen, subjek-subjek Amerika cenderung lebih sering menulis sifat-sifat abstrak dari pada subjek Asia.
Penjelasan sosial. Pemahaman diri juga dapat menjadi “template kognitif” yang mendasari persepsi dan intepretasi terhadap perilaku orang lain. Pada orang-orang dari budaya interdependen kekeliruan dari atribusi ini sepertinya tidak terlalu nampak atau banyak terjadi. Orang-orang dari kebudayaan ini memegang asumsi-asumsi tentang diri yang sangat berbeda dengan yang ada di budaya barat. Pemahaman ini mencakup pengertian bahwa apa yang dilakukan seseorang itu tergantung pada, dan diarahkan atau dipandu oleh faktor-faktor situasional. Dengan adanya pemahaman diri yang interdependensi ini, asumsi paling masuk akal dalam menjelaskan perilaku orang lain adalah bahwa perilaku tersebut banyak dipengaruhi dan diarahkan oleh berbagai faktor yang spesifik situasi.
b. Emosi
Pemahaman diri yang berbeda, memiliki beberapa konsekuensi penting terhadap pengalaman emosional. Emosi lebih banyak dikaji sebagai mekanisme internal yang mempertahankan kondisi homeostatis dan meregulasi perilaku.
1. Konotasi Sosial Emosi
Kiyatama dan Markus (1994) membedakan antara emosi-emosi yang mendorong independensi diri dan emosi yang mendorong interdependensi diri. Emosi-emosi yang terkait dengan konteks sosial (socially engaged emotions) diantaranya yaitu emosi positif yang berasal dari hasil pengalaman menjadi bagian dari suatu hubungan dekat yang kurang lebih bersifat komunal. Contohnya yaitu perasaan bersahabat dan penghargaan. Sedangkan emosi negatif yang biasa muncul akibat kegagalan seseorang untuk berpartisifasi dalam suatu hubungan interdependen, atau karena melakukan sesuatu yang menyakiti hubungan tersebut. Contohnya, merasa berhutang atau rasa bersalah.
Orang-orang dengan pemahaman diri independen akan mengatakan bahwa mereka mengalami dua jenis emosi (positif dan negative), demikian pula dengan orang-orang dengan pemahaman diri interdependen. Yang berbeda adalah pada definisi yang dikaitkan dengan keterikatan dan ketercerabutan serta pada makna dan konsekuensi-konsekuensi sosial emosi tersebut. Orang-orang dengan pemahaman diri interdependen biasanya akan mengalami emosi yang secara sosial berbeda dengan orang-orang berpemahaman diri independen. Emosi-emosi ini akan terasa lebih intens dan lebih terinternalisasi bagi diri yang interdependen daripada untuk diri yang independen, karena emosi-emosi ini memiliki implikasi yang berbeda bagi kedua kelompok pemahaman diri tersebut. .
2. Konotasi Sosial dan Emosi Sosial Asli (Indigenous).
Banyak emosi yang sama secara lintas budaya, banyak juga yang relative unik atau khas pada kebudayaan tertentu (Russell, 1991). Emosi-emosi ini disebut sebagai emosi asli. Sebagai contoh, penelitian dari Lutz (1988) mempelajari emosi masyarakat sebuah atoll Mikronesia bernama Ifaluk menyatakan bawa suatu emosi yang disebut fago merupakan emosi yang amat sentral dalam kebudayaan ini. Fago merupakan kombinasi antara kasih, cinta, dan kesedihan. Emosi ini cenderung mendorong munculnya perilaku menolong dan menciptakan kedekatan hubungan-hubungan interpersonal. Fago adalah emosi yang amat socially engaged.
Bagi orang-orang dengan pemahaman diri interdependen, aspek-aspek diri yang lebih publik dan intersubjectif lebih tereaborasi dalam pengalaman sadar. Bagi penekanan justru adalah aspek-aspek yang lebih pribadi dan subjektif.
Masih ada perbedaan-perbedaan lintas budaya dalam pengalaman emosional. Secara lebih khusus, bukti-bukti yang ada cenderung menyatakan bahwa orang akan mengalami perasaan menyenangkan yang paling umum ini ketika mereka berhasil memenuhi tugas kultural yang terkait dengan independensi atau interdependensi.
Menurut Kitayama, Markus, Kurokawa, dan Negishi (1993) (hasil penelitian di Jepang dan Amerika). Ada beberpa macam emosi yang dilaporkan dalam penelitian ini. Diantaranya yaitu :
· Emosi-emosi yang bersifat generik, seperti merasa tidak tegang, girang, dan tenang.
· Emosi-emosi yang memiliki konotasi sosial yang lebih spesifik. Baik terikat secara sosial (emosi yang socially engaged seperti perasaan bersahabat, hormat), maupun yang tidak terikat (Socially disengaged seperti rasa bangga, superior.
Bagi orang Amerika, emosi positif yang generik terkait terutama dengan pengalaman emosi yang tidak terikat secara sosial. Dengan kata lain, mereka yang mengalami emosi-emosi yang menandakan keberhasilan memenuhi tugas-tugas kultural independen (emosi-emosi yang lepas secara sosial seperti kebanggan) kemungkinan besar akan merasa “secara umum baik/senang.
Pada orang Jepang, pola ini menjadi terbalik. Mereka yang mengalami emosi-emosi yang menandakan keberhasilan memenuhi tugas-tugas kultural independen (emosi-emosi yang terkait secara sosial seperti perasaan-perasaan bersahabat) kemungkinan besar akan merasa secara umum baik/senang.
c. Motivasi
Perbedaan budaya dalam pemahaman diri juga mempengaruhi motivasi. Motivasi seeorang untuk berprestasi atau mencapai sesuatu, untuk berafiliasi, atau untuk mendominasi adalah beberapa di antara cirri diri internal yang paling kentara dan penting cir-ciri yang mengarah dan memberi energi pada prilaku nampak. Dalam motivasi ini, terdapat dua topik yang telah banyak mendapat sorotan penelitian, yaitu: motivasi berprstasi dan motivasi peningkatan diri (self-enhancement) versus pengerdilan diri (self-effecement).
Motivasi berprestasi (achievement motivation) mengacu pada pengertian hasrat akan pencapaian yang unggul, hasrat semacam ini dalam pengertiannya yang luas bisa dijumpai di cukup banyak budaya (Maehr & Nicholls, 1980). Namun dalm literature yang lebih baru, hasrat akan keunggulan dikonseptualisasikan secara lebih spesifik yakni sebagai hasrat yang berakar pada individu atau pribadi, dan tidak berakar secara sosial atau interpersonal.
Dari kerangka yang berbeda, atau dari kerangka pemahaman interindependen, keunggulan dikejar melalui keunggulan-keunggulan sosial yang lebih luas. Bentuk-bentuk motivasi berprestasi yang bersifat sosial ini lebih banyak ditemui pada masyarakat dengan pemahaman diri interindependen. Diri yang interindependen selalu memiliki perhatian penting yang berputar di sekitar kesadaran dan keterikatan atau hubungan diri dengan orang lain.
Dalam pembahasannya tentang kemungkinan ini pada masyarakat Cina, Yang (1982) membedakan antara dua jenis motivasi berprestasi: Berorientasi individu (independen) dan berorientasi soial (interdependen) (cf. Maehr&Nicolls, 1980). Prestasi yang berorientasi individu dipandang sebagai sesuat yang umum terutama di budaya barat(kosep diri independen). Di barat, orang mengejar suatu prestasi atau pencapaian semata demi diri pribadi sedangkan di masyarakat Cina jauh lebih umum ditemukan adalah prestasi atau pencapaian yang bersifat social (interdependen). Pengamatan serupa juga tanpak di sebuah kebudayaan interindependen lain, Jepang. Hasilnya menunjukan bahwa ada hubungan yang dekat antara motivasi berprestasi dengan afiliasi. Baik kajian di Cina maupun di Jepang ini menunjukan bahwa prestasi atau pencapaian erat kaitannya dengan orientasi sosial untuk terhubung dan saling tergantung (interindependen) dengan orang-orang lain yang penting dalam hidup mereka.
4. Jelaskan kaitan budaya dan prilaku bahasa dalam konseling lintas budaya?
Jawab :
Dalam sebuah budaya kita tidak terlepas dari prilaku manusia dimana budaya adalah suatu hasil budhi manusia yang dapat kita lihat dari tampailan prilaku manusia dan bahasa merupakan aspek penting dari prilaku manusia bahasa adalah sarana utama untuk berkomunikasi dengan orang lain dan penyimpan informasi aspek utama dari komunikasi antar budaya adalah komunikasi antar pribadi diantara komunikator(konselor) dan komunikan (klien) yang kebudayaannya berbeda. Bahasa juga merupakan sarana utama dalam pewarisan budaya dari satu generasi pada kegenerasi berikutnya. Kita ketahuai tanpa komunikasi atau bahasa budaya tidak akan ada oleh karana itu kita sebagai seorang konselor harus mempelajari bahasa dan mengetahuai kaitan budaya dan prilaku bahasa dalam konseling lintas budaya.
Dalam hal ini menurut saya kaitan budaya dan prilaku bahasa adalah dalam Budaya yang berbeda memiliki sistem-sistem nilai yang berbeda dan ikut menentukan tujuan hidup yang berbeda, serta menentukan cara berkomunikasi kita yang sangat dipengaruhi oleh bahasa, aturan dan norma yang ada pada masing-masing budaya. Sehingga dalam setiap kegiatan komunikasi kita dengan orang lain selalu mengandung potensi komunikasi lintas budaya atau antar budaya, karena kita akan selalu berada pada budaya yang berbeda dengan orang lain, seberapapun kecilnya perbedaan itu. Perbedaan-perbedaan ekspektasi budaya dapat menimbulkan resiko yang fatal, setidaknya akan menimbulkan komunikasi yang tidak lancar, timbul perasaan tidak nyaman atau timbul kesalah pahaman.
Jika kita kaitkan dalam konseling lintas budaya Akibat dari kesalahpahaman ini otomatis akan mempengaruhi proses konseling lintas budaya. Jadi budaya sangat mempengaruhi prilaku bahasa karena budaya menentukan cara berkomunikasi yang sangat di pengaruhi oleh bahasa sehingga dalam berkomunikasi lintas budaya pasti dalam berkomunikasi kita akan berbeda dengan orng lain walaupun kecil perbedaannya. Ekspresi budaya dalam berkomunikasi setidaknya akan menimbulkan komunikasi yang tidak lancer atau menimbulkan ketidaknyamanan sehingga proses konseling lintas budaya tidak efektif.
5. Bagaimana emosi dapat membentuk dalam sebuah budaya dan jelaskan dampaknya terhadap pelaksanaan konseling lintas budaya ?
Jawab :
Sepreti kita ketahui bahwa budaya adalah suatu hasil budhi manusia mengekspresikan emosinya dalam berinteraksi adalah Salah satu komponen penting dalam interaksi antar individu adalah emosi, dan melalui interaksi itu pun individu mengekspresikan emosinya emosi juga member warna pada hidup, menjadikannya hidup penuh makna pengalaman emosi juga dapat menjadi motivator penting bagi prilaku manusia. Ekspresi emosi juga penting dalam komunikasi seprti yang sudah di singgung tadi serta emosi memainkan pern penting dalam interaksi sosial. Emosi merupakan bagian dari interaksi individu yang merefleksikan hubungan fungsional antara individu dan lingkungannya. Emosi yang timbul dalam kehidupan sehari–hari tersebut terbentuk oleh konteks budaya dimana emosi tersebut muncul, sehingga perbedaan budaya dapat mempengaruhi emosi. Perbedaan budaya dalam emosi tersebut dapat berbeda dalam hal penilaian terhadap situasi, pengekspresian emosi, dan bagaimana emosi diatur dalam sebuah kehidupan sosial. Setiap budaya memiliki prinsip budaya dasar yang berisi nilai-nilai yang dianggap penting oleh suatu budaya. Nilai-nilai sosial tersebut berperan dalam pengaturan tampilan emosi atau ekspresi wajah dalam masyarakat budaya tertentu. Damapak tehap konseling lintas budaya adalah dengan pemahaman budaya yang berbeda maka pelayanan konseling lintas budaya harus berbeda dan kita bisa memahami konsep emosi yang ada dalam sebuah budaya. Bagaimanapun kita dalam konseling lintas budaya perlu mempertimbangkan pengaruh kebudayaan pada emosi yang dia anut atau di opahami klien dalam konseling.
DAFTAR PUSTAKA
Alex Sobur. 2003. Psikologi Umum. Bandung: Pustaka Setia.
Elly. M. Setiadi. Dkk. 2007. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta: Kencana Prenada Media Group
Matsumoto, D. 2008. Pengantar Psikologi Lintas Budaya. Yogyakarta : pustaka pelajar
Yusuf, Yusmar. 1991. Psikologi Antar Budaya. Bandung: Remaja Rosda Karya
http://lib.atmajaya.ac.id/default.aspx?tabID=61&src=k&id=124300